SUARADPR.COM – Idul Adha hadir setiap tahun sebagai momentum yang lebih dari sekadar ritual tahunan. Di balik hiruk pikuk penyembelihan hewan dan pembagian daging, terdapat makna spiritual yang mendalam: sebuah pelajaran tentang keikhlasan dan ketaatan mutlak kepada Tuhan. Sayangnya, banyak dari kita yang mulai melupakan esensi itu, menjadikan kurban sekadar ajang formalitas atau bahkan pamer status sosial.
Kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS bukanlah sekadar narasi sejarah, melainkan fondasi moral yang seharusnya kita hayati dan teladani. Ketaatan Ibrahim untuk mengorbankan anaknya atas perintah Allah adalah bentuk totalitas iman. Sementara Ismail menunjukkan keikhlasan luar biasa sebagai seorang anak yang berserah pada kehendak Ilahi. Di zaman sekarang, ketundukan seperti itu makin langka—tergerus ego dan logika duniawi.
Berkurban seharusnya menjadi refleksi batin, bukan sekadar aktivitas fisik. Ini adalah momen untuk bertanya: apa yang selama ini enggan kita lepaskan demi Allah? Apakah kita masih terlalu melekat pada jabatan, harta, atau bahkan ego? Kurban yang sejati adalah ketika kita mampu menyerahkan sesuatu yang amat kita cintai demi kebaikan yang lebih besar dan demi keridhaan-Nya.
Banyak orang merasa sudah cukup berkurban hanya dengan membeli kambing atau sapi. Tapi kurban bukan hanya soal mengeluarkan uang. Ini soal menguji diri—apakah kita mampu melepaskan kenyamanan pribadi untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan? Apakah kita benar-benar ikhlas melakukannya, atau hanya karena gengsi sosial dan ekspektasi lingkungan?
Kurban juga menjadi pengingat bahwa segala sesuatu yang kita miliki hanyalah titipan. Kita bukan pemilik sejati harta atau kehidupan. Dengan berbagi daging kurban, kita menegaskan kembali komitmen sosial Islam: untuk peduli pada sesama, mempersempit jurang ketimpangan, dan menumbuhkan rasa empati di tengah masyarakat yang makin individualistis.
Dalam konteks Indonesia, semangat Idul Adha seharusnya bisa menjadi penggerak solidaritas sosial. Masih banyak daerah yang tertinggal, masih banyak keluarga yang bahkan jarang sekali makan daging. Kurban bisa menjadi jembatan kepedulian antara si mampu dan yang membutuhkan. Tapi tentu saja, hanya akan bermakna jika disertai dengan niat yang tulus.
Saya percaya, keikhlasan adalah inti dari semua ibadah, termasuk kurban. Tanpa keikhlasan, ibadah menjadi kosong dan kehilangan maknanya. Ketaatan pun menjadi semu jika tidak disertai dengan kesadaran bahwa kita adalah hamba, bukan pengatur kehendak. Maka dari itu, Idul Adha seharusnya menjadi ruang perenungan: apakah kita benar-benar tunduk pada Allah, atau hanya mengikuti rutinitas belaka?
Momentum ini juga layak menjadi titik balik untuk memperbaiki hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan manusia. Bukan hanya memperbanyak ibadah, tapi juga memperbaiki akhlak dan kontribusi sosial. Karena sejatinya, beragama bukan hanya soal hubungan pribadi dengan Tuhan, melainkan juga tentang menjadi rahmat bagi semesta.
Idul Adha mengajarkan bahwa cinta kepada Allah harus mengalahkan cinta kepada dunia. Kita diuji apakah mampu menyerahkan sesuatu yang berharga demi ketaatan. Dalam kehidupan modern yang penuh distraksi dan materialisme, pesan ini menjadi sangat relevan. Jangan sampai kita larut dalam seremonial, tapi melupakan substansi dari pengorbanan.
Akhirnya, kurban adalah tentang siapa diri kita di hadapan Allah: seorang hamba yang patuh dan ikhlas. Maka mari sambut Idul Adha dengan hati yang bersih, niat yang tulus, dan semangat untuk terus memperbaiki diri. Karena sesungguhnya, setiap tetes darah yang mengalir dari hewan kurban adalah saksi cinta kita kepada Sang Pencipta.
Penulis: Muhammad Nur Kelrey (Founder Maluku Satu).
Komentar