oleh

Meneladani Keikhlasan Nabi Ibrahim: Esensi Kurban di Hari Raya Idul Adha

-PERISTIWA-51 Dilihat

SUARADPR.COM – Idul Adha bukan sekadar perayaan tahunan bagi umat Islam. Hari raya ini adalah momentum spiritual yang sarat makna, yang mengingatkan kita pada kisah monumental Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Keduanya adalah simbol ketaatan dan keikhlasan, menjadi cermin teladan umat tentang bagaimana cinta kepada Allah mengalahkan segala bentuk keterikatan duniawi, termasuk kepada keluarga sendiri.

Dalam sejarahnya, Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah SWT untuk menyembelih putranya yang sangat ia cintai, Ismail. Tanpa ragu dan dengan penuh ketundukan, ia bersiap menjalankan perintah tersebut. Begitu pula Nabi Ismail, yang dengan tulus menerima takdirnya demi menjalankan kehendak Allah. Dari peristiwa inilah esensi kurban lahir—pengorbanan yang bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga spiritual.

Berkurban saat Idul Adha adalah bentuk manifestasi dari ketakwaan seorang hamba kepada Tuhannya. Ia bukan sekadar menyembelih hewan, melainkan menyembelih ego, keserakahan, dan kecintaan berlebihan pada dunia. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hajj ayat 37 bahwa “Daging dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”

Keutamaan berkurban sangat besar. Selain sebagai bentuk ibadah, berkurban juga menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah). Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada suatu amalan yang paling dicintai oleh Allah dari Bani Adam pada hari Nahr (Idul Adha) selain menyembelih kurban…” (HR. Tirmidzi). Ini menunjukkan betapa tinggi nilai spiritual dari ibadah ini.

Lebih dari sekadar ritual, berkurban juga mengandung dimensi sosial. Daging kurban dibagikan kepada kaum fakir miskin, tetangga, dan keluarga. Ini adalah bentuk solidaritas sosial yang mempererat ikatan persaudaraan antarumat Islam, sekaligus menjadi wujud nyata dari semangat berbagi dan keadilan sosial dalam Islam.

Di tengah dinamika kehidupan modern yang serba instan dan individualistik, makna kurban sering kali terkikis. Banyak orang lupa bahwa hakikat kurban adalah tentang ketulusan, bukan tentang gengsi atau formalitas. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail mengajarkan bahwa keikhlasan adalah kunci, bukan semata-mata jumlah atau jenis hewan yang dikurbankan.

Momentum Idul Adha seharusnya menjadi ajang refleksi diri. Sudahkah kita menempatkan Allah di atas segalanya? Sudahkah kita sanggup melepaskan keterikatan dunia demi menjalankan perintah-Nya? Jika Nabi Ibrahim dan Ismail mampu melampaui ujian luar biasa itu, maka sebagai umatnya, sudah sepatutnya kita belajar meneladani semangat mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi mereka yang diberi kelapangan rezeki, berkurban bukan hanya kesempatan, melainkan kewajiban moral. Allah telah memberikan banyak nikmat, dan melalui kurban, kita belajar bersyukur dengan cara berbagi kepada mereka yang kekurangan. Inilah salah satu wujud nyata dari Islam sebagai agama yang menyeimbangkan antara hubungan dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan antar sesama manusia (hablum minannas).

Akhirnya, mari jadikan Idul Adha bukan hanya sebagai hari libur atau ajang konsumsi, tetapi sebagai waktu untuk memperdalam keimanan dan memperkuat empati. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan sekadar dongeng masa lalu, melainkan pelajaran abadi tentang cinta sejati kepada Allah, yang tercermin dalam keikhlasan, pengorbanan, dan ketundukan. Semoga semangat berkurban senantiasa hidup dalam jiwa kita.

Penulis: Muhammad Nur Kelrey (Founder Maluku Satu)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *