oleh

Peralihan Gaji ASN Ke Bank Modern Ekspres Tanpa PKS adalah Pelanggaran Administratif

-BERITA-469 Dilihat

SUARADPR.COM – Kebijakan pemindahan pembayaran gaji ASN di beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dari Bank Maluku-Malut ke BPR Modern Ekspres dilakukan tanpa Perjanjian Kerja Sama (PKS) baru dengan bank pemerintah daerah tersebut. Dalam konteks keuangan daerah, setiap langkah yang menyangkut pengelolaan APBD harus memiliki dasar hukum yang jelas, baik dalam bentuk perjanjian tertulis, peraturan kepala daerah, maupun persetujuan DPRD.

Tanpa regulasi atau PKS resmi, kebijakan ini rawan dianggap tidak memiliki dasar hukum yang sah sehingga berpotensi melanggar asas kepastian hukum.

Pemindahan dana publik (gaji ASN) adalah bagian dari pengelolaan keuangan daerah yang diawasi BPK. Tanpa mekanisme transparansi yang ketat, kebijakan ini berisiko dipertanyakan oleh auditor, apalagi jika tidak ada analisis risiko dan kajian manfaat yang dibuka ke publik.

Pemkab wajib membuktikan bahwa langkah ini sudah melalui kajian resmi, bukan hanya keputusan administratif Bupati.

Salah satu alasan yang dikemukakan dalam pengambilan kebijakan ini adalah
Kredit macet ASN. Ini adalah bentuk kekeliruan tanpa dasar kajian mendalam berbasis pengetahuan yang perlu diluruskan.

Kredit macet ASN adalah hubungan hukum perdata antara individu ASN dan pihak bank. Pemda tidak bisa serta-merta mengalihkan pembayaran gaji ASN ke bank lain hanya untuk memudahkan pemotongan kredit di bank tertentu.

UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU ASN tidak memberi kewenangan Bupati untuk mengatur perjanjian kredit pribadi ASN dengan pihak ketiga.

Kebijakan ini bisa dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah daerah terhadap kontrak perdata ASN dan Bank Modern yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme pemotongan gaji individu, bukan pemindahan massal rekening gaji ASN.

Pemindahan gaji ASN ke BPR Modern Ekspres tanpa mekanisme PKS antara bank Maluku-Malut Pusat dan BPR Modern Ekspres Pusat sebagaimana diminta Bank Maluku-Malut bisa dipandang melanggar prinsip kehati-hatian perbankan.

Hal ini sebagaimana penegasan yang diatur dalam peraturan OJK dan Bank Indonesia yang menekankan pentingnya perjanjian resmi antar bank dalam hal transfer kewajiban kredit dan pembayaran gaji ASN.

Hal ini pun bisa berakibat fatal jika tidak ada dokumen resmi yang mengatur mekanisme ini, Pemkab bisa dipertanyakan legalitasnya oleh OJK dan BPK karena menggunakan dana APBD di luar prosedur baku.

Selain itu, kebijakan Pemda terkait pemindahan gaji ASN dari bank milik daerah (Bank Maluku-Malut) ke bank swasta (BPR Modern Ekspres) bisa menimbulkan pertanyaan soal keberpihakan Pemkab terhadap kepentingan korporasi tertentu. Olehnya, dugaan dana 300 juta yang disinyalir ditransfer dari Bank BPR Modern Ekspres ke Kas Daerah patut kiranya diusut dan diungkapkan kejelasannya kepada publik.

UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli melarang intervensi pemerintah daerah yang memberi keuntungan kepada satu pihak swasta dengan mengorbankan pihak lain, kecuali ada kajian ekonomi daerah yang transparan tanpa unsur mens rea yang melatarbelakangi dan menjadi motif untuk kepentingan tertentu yang menguntungkan.

Dalam konteks ini, La Hamidi sebagai pemangku kebijakan dan kepala pemerintahan kabupaten harus mampu membuktikan kepada publik bahwa tidak ada unsur keberpihakan atau potensi konflik kepentingan dalam kebijakan ini.

Satu hal yang perlu diperhatikan lebih jauh adalah setiap kebijakan yang menyangkut pengelolaan APBD harus sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Jika ditemukan bahwa kebijakan ini tidak memiliki dasar hukum memadai, BPK bisa memberikan opini negatif atau rekomendasi pengembalian dana.

Dalam konteks hukum pidana, jika kebijakan ini mengakibatkan kerugian negara atau keuntungan bagi pihak tertentu, kepala daerah dapat diperiksa atas dugaan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor.

Olehnya, Pemkab harus bisa membuktikan bahwa kebijakan ini didasari kepentingan umum, memiliki dokumen kajian resmi, dan tidak menimbulkan kerugian negara. Lebih-lebihnya, harus didasari pembahasan dan kesepakatan bersama antara Pemerintah dan DPRD. Pemerintah tidak boleh mengambil kebijakan sepihak dengan menggunakan otoritas bupati sebagai kepala pemerintahan dalam setiap kebijakan anggaran tanpa persetujuan DPRD yang memiliki fungsi pengawasan terhadap pengelolaan anggaran daerah.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 komentar

News Feed